Perkenalkan semua..... ini profil saya

Foto saya
Seorang Anik yang belajar menulis (semoga tidak dengan terbata-bata) melalui wahana blog.

05 Juli 2009

Rantai Birokrasi





Selamat siang tetamu semua....

Lama sudah kita tak bersua di obrolan tentang kegiatan dan keadaan harian Nik..

Bukannya Nik tidak melakukan kegiatan apapun selama kita tak bersua...atau tidak ada keadaan spesial yang patut Nik bagi pada tetamu sekalian. Bukan....

Hanya saja... penyakit MALAS MENULIS Nik rupanya kambuh dengan skala akut.

Hua... akut..............
Yup, kata yang tepat untuk menyampaikan tingkat penyakit itu diwaktu lalu...

Yah...
Bagaimanapun... penyakit itu sekarang sudah lumayan teratasi. Semoga saja tidak mudah kambuh lagi. Semoga.

Oia, untuk kali ini, Nik akan bercerita tentang Rantai Borokrasi.
Why? Karena sebulan terakhir ini Nik berurusan dengan para birokrat melalui surat menyurat. Dan Nik merasa SANGAT LELAH karenanya.

Oho... jangan menyangka birokrat pusat yang maksud. Bukan juga seperti kasusnya mbak Prita, yang jadi boom karena surat elektroniknya yang secara salah diapresiasi oleh jaksa dengan mengaitkannya dengan UU ITE. Bukan.... yah... paling tidak, tidak seheboh itu.
Urusan Nik (yang sebenarnya lebih merupakan urusan bersama RT 9 tempat Nik tinggal) dengan birokrasi menyangkut BPN atau instansi pertanahan di kabupaten.


Ceritanya begini.....
Warga RT 9 menanyakan keberadaan pengukuran tanah yang dilakukan oleh aparat BPN dengan didampingi oleh aparat Desa dan BPD .
Wah!... Ini pasti pengukuran resmi, pikir kami waktu itu. Tapi dalam rangka apa, ya?

Mau tidak mau, kami menjadi agak paranoid,mengingat tanah tempat kami -warga RT 9- menetap, sedang berada dalam sengketa dengan pihak Pemerintah Desa setempat. Sengketa perdata yang hingga kini masih dalam tahap kasasi dan belum incracht. Hm....
Pada awalnya kami mendapat penjelasan dari salah seorang perwakilan BPD yang turut menyertai pengukuran itu, bahwa pengukuran yang dilakukan itu dalam kerangka perubahan keterangan tagihan pajak karena luas tanah berkurang setelah rencana pelebaran jalan propinsi mulai ditindaklanjuti oleh PU. Oke, sampai disitu kami berusaha memahami. TAPI.... mana surat tugasnya? ya dari BPN, ya dari Dinas Pajak...
Jawab beliau, "Ah, urusan kayak gini nggak perlu rewel, mbak... ndak usah pake birokrasi yang rumit... wis, percaya saja..."
Ho....ho...ho......
Langsung di kepala kami, berdering alarm tanda bahaya. Pengukuran tanah tanpa surat tugas? Apa-apaan ini....
Meskipun kami orang awam dalam bidang pertanahan, tidak berarti kami orang bodoh yang gampang dikibuli...
Selang beberapa hari...
Akhirnya setelah musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang, kami bersepakat mengirim surat resmi yang ditujukan pada BPD dengan tembusan kepada Pemerintah Desa, PN serta BPN Kabupaten mengenai pengukuran tanah tersebut. Keesokan hari, surat dikirim melalui pos tercatat.
Jeng...jeng.....
Seminggu.... sepuluh hari..... nyaris dua minggu kami menunggu...
Karena tak sabar, kami tulis surat kedua, yang tembusannya hingga ke BPN pusat, MA dan kepolisian. Masih menggunakan metode surat tercatat.
Whus....... selang dua hari, jawaban diantar langsung oleh kurir dari BPN Kabupaten.

Jam 5 sore!!!!!!!!! Rajin, ya... Unbelievable.... sehebat itukah pengaruh tembusan sampai pucuk pimpinan menghasilkan respon? He...he....
Jawaban surat itu mencengangkan...
ternyata, pengukuran yang dilakukan itu BUKAN permintaan dari dinas pajak, tapi permohonan dari Pemerintah Desa -yang notabene adalah penggugat dalam kasus perdata pertanahan yang belum inkracht- dalam rangka splitsing sertifikat. Disertakan pula surat permohonan splitsing dari Pemerintah Desa. WHAT A HELL.....
Dalam surat itu pula BPN mengajukan saran agar apabila memang tanah SEDANG BERADA dalam sengketa, kami selaku yang berkepentingan mengajukan permohonan blokir atas sertifikat tersebut sehingga tidak dapat dilakukan perbuatan hukum terhadap sertifikat tersebut selama perkara masih belum inkracht.
Hu....hu.... nyaris kecolongan dah... NYARISSSSSSSSSS
Akhirnya kami tindaklanjuti lagi dengan surat yang memuat lampiran pengantar kasasi, dan surat gugatan awal disertai permohonan blokir. All in one letter.
Dan belajar dari respon secepat kilat karena tembusan ke instansi tertinggi, kali ini kami pun kirim dengan tembusan yang komplit...plit...plit....

Bedanya, kali ini yang dikirim per pos tercatat hanya yang berada di luar jangkauan pengantaran sehari. Untuk sialamat dalam kota, Nik antar sendiri, dengan dilampiri tanda terima kiriman, tentu...........
Ciattttttttt.... ngeng...ngeng... dari jam delapan pagi, Nik dah rapi jali siap muter kota nganter surat...
Ternyata, jam sembilan dah kelarrrrrrrrrr, cepet juga.....
Oops..... setelah beberes file yang diperlukan, tinggal nunggu jawaban lagi, deh...
Tang...ting...tung.... menunggu memang menjemukan... tapi karena harus dijalani, yah, waktu tunggunya dipake untuk konsultasi ke PKBH, yang merupakan penasehat hukum kami selama berperkara.
AKHIRNYA...
Surat jawaban datang juga....
eng....ing...eng... inti dari jawaban itu sungguh menbuat kami terheran-heran...

MEREKA MENYATAKAN TIDAK TAU BAHWA TANAH DALAM SENGKETA, dan MEMINTA PERWAKILAN RT UNTUK DATANG KE BPN DAN MENDAPAT PENJELASAN TENTANGNYA.
He????
Lha pejabat BPN yang jadi saksi di sidang perkara di PN dulu itu apa juga ndak mengantongi surat tugas, ya? sehingga ndak kearsip?
Cape deh.....

whatever...
Akhirnya beberapa orang perwakilan RT, yaitu Pak RT, Mr.R dan Nik ke BPN. Bermotor ria...
Sampai disana, kami dihibur dengan keramahan dan kata manis.... Pulang kami..

Besoknya, Pak RT kembali ke BPN dan meminta BLOKIR. Kayaknya bikin pegawai BPN yang menghibur kami kemarin salah tingkah, deh.... karena awalnya mereka bilang, kalo sebenarnya begitu mereka tahu ada sengketa, mereka punya kebijakan ndak ngutik-utik sertifikat yang bersangkutan... dan blokir hanya berlaku untuk 30 hari dan ndak bisa diperpanjang.
Ho...ho... kami memilih tidak mengambil risiko sebanyak itu mengingat model arsip birokrasi pemerintahan belum bisa kami percaya efektif dan efisiennya.... soriiiiii.....wkwkwkwk....

Hari itu juga blokir dilakukan pad sertifikat tanah sengketa. YUP!! hitam diatas putih...
Yah... memang ada perlawanan dari pemerintah desa melalui pengacara mereka, sih... tapi kami bisa membuktikan kalo itu perkara masih belum inkracht.... then, mereka g bisa berkutik....
So, inti dari cerita Nik itu adalah...
Kalau u berurusan dengan birokrasi di Indonesia, [entah di negara lain, Nik belum pernah kesana].... ingat-ingat selalu untuk:
1. Bawa kuitansi, biar g kena pungutan liar;
2. Selalu minta tanda bukti;
3. Usahakan ada hitam diatas putih yang legal;
4. Pelajari cara komplain kepada atasan birokrat tersebut atau jalur publikasi keberatan kita atas pelayanan mereka, karena ndak semua jalur terbuka luas bagi kita....ingat, mbak Prita sudah dimejahijaukan, padahal bukan dengan pemerintah lho... urusannya....
5. Grow up! Ndak usah jadi penjilat lah.....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar