Perkenalkan semua..... ini profil saya

Foto saya
Seorang Anik yang belajar menulis (semoga tidak dengan terbata-bata) melalui wahana blog.

17 April 2011

Dari seorang Charles Peguy dan Simon Wiesenthal

Tadi malam Nik baca dua alinea yang bikin Nik nyengir....
Alinea itu berbunyi, "He, who does not bellow out the truth when he knows the truth, makes himself the accomplice of liars and forgers."
Yang satu lagi berbunyi, "Forgetting is something that time takes care of, but forgiveness is an act of volition. And only the sufferer is qualified to make the decision."

He...he.....

Eh??? Artinya?? Emmm... versi Nik, kira-kira gini nih artinya.
"Orang yang tahu akan kebenaran sesuatu tapi lebih memilih untuk tutup mulut, termasuk kolaborator atau pelaku", dan
"Untuk melupakan suatu peristiwa, akan dibantu dengan berlalunya sang waktu, namun untuk memaafkan diperlukan keikhlasan. Dan hanya para korban yang berhak membuat pilihan atas permaafan itu."

What a wonderful subject to read when you in a broken hearted time.....

Fiuh,,, jadi agak enteng nih ati....
Alhamdulillaah...

18 Januari 2011

Ketika Para Aparat Mengabaikan Konstitusi Secara Berjamaah.. *




Pada tanggal 26 Oktober 2010, antara jam sembilan pagi hingga jam tujuh malam terjadi kemacetan jalan arteri Magelang-Yogya kilometer 5, tepatnya di daerah Mertoyudan. Penyebab utama kemacetan itu adalah pelaksanaan eksekusi kasus perdata antara Pemerintah Desa Mertoyudan yang menggugat delapan belas warganya yang memiliki properti yang terletak di RT 9 RW 1 Dusun Prajenan oleh Pengadilan Negeri Mungkid Kabupaten Magelang . Pangkal kasusnya adalah klaim adanya pendudukan lahan yang diaku sebagai milik Desa Mertoyudan secara tidak sah oleh para tergugat. Dasar kasus tersebut adalah Sertifikat Hak Pakai nomor 11 tahun 1988 atas nama Desa Mertoyudan.

Entah pertimbangan apa yang digunakan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan pada waktu itu yang menyebabkan kasus tersebut menjadikan hanya delapan belas warga desa sebagai tergugat, meskipun diatas lahan yang menjadi musabab sengketa tinggal lebih dari delapan puluh jiwa. Mereka semua memiliki kesamaan telah tinggal, hidup dan mencari nafkah secara turun temurun di wilayah RT 9 RW 1 Dusun Prajenan Desa Mertoyudan sejak adanya hunian permanen tersebut ditahun 1948. Mengenai hunian itu sendiri, secara de jure dan de facto telah diakui keberadaanya oleh negara melalui dibentuknya satuan administratif pemerintahan berupa Rukun Tetangga di hunian itu yang kemudian dimasukkan ke dalam satuan padukuhan Prajenan.

Ekses nyata eksekusi pemukiman warga tersebut adalah terampasnya hak dan salah satu kebutuhan dasar manusia bagi warga setempat, tak hanya bagi para tergugat. Kurang lebih 24 (duapuluh empat) keluarga yang terdiri lebih dari delapan puluh jiwa menjadi tunawisma dadakan karena rumah permanen yang mereka tempati sejak jauh hari sebelum keluarnya sertifikat atas tanah itu, dirobohkan paksa.

Kehilangan papan tempat berteduh bukan hanya satu-satunya kerugian materi yang dialami warga RT 9 RW 1 Dusun Prajenan. Sebagian besar dari mereka pun kehilangan tempat mencari nafkah, bahkan kehilangan modal pokok memenuhi kebutuhan hidup meraka. Hal itu dipastikan terjadi mengingat sebagian besar warga menggantungkan hidup dengan berwiraswasta. Mereka berdagang dan menjual jasa di deretan depan pemukiman yang berupa serangkaian kios yang terletak di tepi jalan utama Magelang-Yogya dan beristirahat di bagian belakang pemukiman yang berupa hunian. Kedua bagian pemukiman itu berupa pemukiman permanen dan sejak keberadaannya, bagian depan telah mengalami empat kali perombakan karena proyek pelebaran jalan propinsi.

Yang membuat situasi ini menjadi lebih memprihatinkan adalah karena pemohon eksekusi adalah Pemerintah Desa Mertoyudan yang pada awalnya menjadi penggugat dalam kasus bernomor 27/Pdt.G/2005/PN.Kab Mgl. Mengenai kasus tersebut, putusan kasasi telah dikeluarkan dan diberitahukan kepada para pihak secara tertulis pada tanggal 03 Mei 2010. Namun alasan utama pelaksanaan kasasi bukanlah karena kasus telah inkracht karena kasus ini adalah kasus perdata melainkan karena diajukannya permohonan pelaksanaan eksekusi oleh pemenang perkara.

Berdasarkan alur jalannya perkara, permohonan eksekusi tersebut diperkirakan diajukan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan melalui pengacara M.Zazin, SH., MH. dkk antara 03 Mei 2010 hingga 06 Juni 2010, karena pada tanggal 07 Juni 2010 keluar relaas panggilan kepada para termohon eksekusi bernomor 09/Pdt.Eks/2010/PN. Mkd. Relaas tersebut memanggil termohon eksekusi guna menghadap Ketua PN Mungkid pada tanggal 10 Juni 2010.

Pada waktu menghadap Ketua PN Mungkid, Adi Hernomo, SH., MH. itu, para termohon kasasi (dan sebagian diantaranya diwakili kuasanya) tanpa kehadiran perwakilan dari penggugat, diberi penjelasan mengenai putusan kasasi. Namun penjelasan Ketua PN menimbulkan tanda tanya bagi hadirin karena ketua PN menyatakan akan ada ganti kerugian bagi para termohon kasasi, padahal dalam putusan tertulisnya, secara jelas dan tegas MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang memutus tidak ada dasar hukum bagi pemberian ganti kerugian.

Selanjutnya relas panggilan kedua tertanggal 14 Juni 2010 (relas ini juga bernomor sama, 09/Pdt.eks/2010/PN.Mkd) memanggil para termohon kasasi untuk menghadap ketua PN Mungkid pada tanggal 17 Juni 2010. Pada panggilan kedua inilah dilakukan erata atas keterangan ketua PN di pertemuan terdahulu. Pun pada pertemuan kali ini, turut hadir seorang pengacara, Ferry P. Kurniawan, SH., yang menyatakan diri sebagai perwakilan dari Pemerintah Desa Mertoyudan selaku Penggugat.

Adapun pada pertemuan kedua, selain erata pembacaan putusan kasasi dan penjelasan mengenai aturan main eksekusinya, juga tercetus pengumuman yang disampaikan oleh sdr Ferry P Kurniawan, SH. selaku kuasa penggugat yang sedikit menjadi pendingin suasana. Pemberitahuan itu berkaitan dengan telah disepakatinya keberadaan tali asih bagi para termohon eksekusi. Namun mengenai bentuk dan besarannya, kuasa penggugat pada waktu itu menyatakan belum ada kesepakatan internal dari unsur Pemerintah Desa Mertoyudan. Oleh karenanya, pada pertemuan tersebut Ketua PN Mungkid memerintahkan dengan tegas dan jelas kepada para termohon eksekusi untuk bersedia bersabar dan menuggu pemberitahuan lanjutan mengenai bentuk dan besaran tali asih dari Penggugat serta memerintahkan kepada kuasa dari penggugat untuk sesegera mungkin menyelesaikan rembug internal mengenai hal itu dan melaporkan hasilnya kepada beliau untuk ditindaklanjuti.

Dalam pertemuan kedua itu kembali diajukan pertanyaan mengenai nasib warga yang tinggal di tempat itu diluar para permohon eksekusi. Ditanyakan oleh wakil dari termohon eksekusi, bagaimana nasib mereka sebagai bagian dari warga desa, perlindungan hukum dan penghormatan atas hak hidup mereka. Mengenai hal inipun ketua PN memerintahkan kepada kuasa penggugat untuk melaporkan kepada Pemerintah Desa dan menyarankan untuk segera melakukan kajian internal mengenainya, mengingat selain menjadi penggugat, Pemerintah Desa Mertoyudan merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan yang memiliki kewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Namun apa yang terjadi? Hingga eksekusi dilaksanakan, tak satupun perintah Ketua PN Mungkid pada pertemuan kedua dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan. Baik itu mengenai penindaklanjutan wacana tali asih, atupun penanganan masalah warganya yang tak tegugat namun terkena imbas eksekusi. Pemerintah Desa Mertoyudan khususnya dan Pemerintah Kabupaten Magelang pada umumnya seakan tutup mata tutup telinga dan tutup hati atas keadaan ini. Itu pula yang terjadi ketika hal itu diberitahukan kepada pelaksana lapangan eksekusi, Ngadenan, SH. (yang pada waktu pelaksanaan eksekusi didampingi oleh beberapa pejabat terkait). Mereka bersikap tak peduli dan tak mau tahu atas nasib para warga negara yang tiba-tiba menjadi tunawisma ini.

Apakah memang pengelolaan konflik di negara kita sudah sedemikian terpuruk hingga karena adanya perkara perdata mengakibatkan pelanggaran amanat konstitusi khususnya pasal 28 oleh aparatur pemerintah secara berjamaah? Semoga saja tidak, dan tugas kitalah sebagai bagian dari warga negara untuk memastikan disharmoni seperti ini tak lagi terulang di belahan manapun di bumi pertiwi.

* Pada awalnya tulisan ini dibuat untuk diterbitkan di majalah PARADIGMA edisi 2010 dengan judul “Where Do We Go From Here...”