Perkenalkan semua..... ini profil saya

Foto saya
Seorang Anik yang belajar menulis (semoga tidak dengan terbata-bata) melalui wahana blog.

08 Juni 2014

NEKAWARNA GURAT KENANGAN


NEKAWARNA GURAT KENANGAN

Kenangan itu abadi, 
dan aku mempercayainya...
Paling tidak kali ini
kenanganku atas kita...

 
Senang...
Sedih...
Suka... 
Duka...


Persahabatanmu yang menghangatkan jiwaku.....
Kekonyolanmu yang aneh bagiku....
Kenekatanmu meski ternyata telah kau perhitungkan, terlalu...
Tingkah bandelmu yang tak sesuai dengan sifat aslimu...
Kelucuan ketika tergagap malu-malu....
dan semua sikapmu padaku...

Ijinkan semua itu senantiasa menjadi kenangan bagiku...

Kebersamaanku denganmu...
Denting tawa berderai ketika sehati melihat obyek yang lucu,
Canda kita tanpa tahu waktu kala bertemu,
Tangis kangenku dan cemburumu ketika kita terpisah ruang dan waktu karena kewajibanmu, 
Serta resah gelisah hatiku menanti kabar balasan darimu...
Semua itu menjadi nekawarna guratan kenanganku atasmu. 

Kenangan kita.
kau..
aku...
kita....
dulu.

Terimakasih 
tuk beragam gurat nuansa 
dalam sepenggal kenangan kita

Kini
ku mulai kuatkan hati
tuk lanjutkan lagi guratan hidup ini
meski tanpa ada kau disisi 
tanpa kita di masa kini.

Mei Ini, Sepuluh Tahun Tanpamu


Mei Ini, Sepuluh Tahun Tanpamu


Sepuluh tahun 
Telah berlalu tanpamu 

Dari Mei 
Ke Mei....
 
Apakah menurutmu
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang cukup bagiku 
Untuk menata dan merekatkan kembali 
Puing setengah hati ini?

Karena ternyata bagiku
Setengah hati yang dulu melengkapi telah lebur.... 
Hanya tersisa bayang itu...
Bayang yang meneguhkan bahwa pernah ada setengah hati yang dulu pernah menemani dan melengkapiku...

maaf, masa lalu... 
aku baru mampu menengokmu 
sekali 
ini

 

17 April 2011

Dari seorang Charles Peguy dan Simon Wiesenthal

Tadi malam Nik baca dua alinea yang bikin Nik nyengir....
Alinea itu berbunyi, "He, who does not bellow out the truth when he knows the truth, makes himself the accomplice of liars and forgers."
Yang satu lagi berbunyi, "Forgetting is something that time takes care of, but forgiveness is an act of volition. And only the sufferer is qualified to make the decision."

He...he.....

Eh??? Artinya?? Emmm... versi Nik, kira-kira gini nih artinya.
"Orang yang tahu akan kebenaran sesuatu tapi lebih memilih untuk tutup mulut, termasuk kolaborator atau pelaku", dan
"Untuk melupakan suatu peristiwa, akan dibantu dengan berlalunya sang waktu, namun untuk memaafkan diperlukan keikhlasan. Dan hanya para korban yang berhak membuat pilihan atas permaafan itu."

What a wonderful subject to read when you in a broken hearted time.....

Fiuh,,, jadi agak enteng nih ati....
Alhamdulillaah...

18 Januari 2011

Ketika Para Aparat Mengabaikan Konstitusi Secara Berjamaah.. *




Pada tanggal 26 Oktober 2010, antara jam sembilan pagi hingga jam tujuh malam terjadi kemacetan jalan arteri Magelang-Yogya kilometer 5, tepatnya di daerah Mertoyudan. Penyebab utama kemacetan itu adalah pelaksanaan eksekusi kasus perdata antara Pemerintah Desa Mertoyudan yang menggugat delapan belas warganya yang memiliki properti yang terletak di RT 9 RW 1 Dusun Prajenan oleh Pengadilan Negeri Mungkid Kabupaten Magelang . Pangkal kasusnya adalah klaim adanya pendudukan lahan yang diaku sebagai milik Desa Mertoyudan secara tidak sah oleh para tergugat. Dasar kasus tersebut adalah Sertifikat Hak Pakai nomor 11 tahun 1988 atas nama Desa Mertoyudan.

Entah pertimbangan apa yang digunakan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan pada waktu itu yang menyebabkan kasus tersebut menjadikan hanya delapan belas warga desa sebagai tergugat, meskipun diatas lahan yang menjadi musabab sengketa tinggal lebih dari delapan puluh jiwa. Mereka semua memiliki kesamaan telah tinggal, hidup dan mencari nafkah secara turun temurun di wilayah RT 9 RW 1 Dusun Prajenan Desa Mertoyudan sejak adanya hunian permanen tersebut ditahun 1948. Mengenai hunian itu sendiri, secara de jure dan de facto telah diakui keberadaanya oleh negara melalui dibentuknya satuan administratif pemerintahan berupa Rukun Tetangga di hunian itu yang kemudian dimasukkan ke dalam satuan padukuhan Prajenan.

Ekses nyata eksekusi pemukiman warga tersebut adalah terampasnya hak dan salah satu kebutuhan dasar manusia bagi warga setempat, tak hanya bagi para tergugat. Kurang lebih 24 (duapuluh empat) keluarga yang terdiri lebih dari delapan puluh jiwa menjadi tunawisma dadakan karena rumah permanen yang mereka tempati sejak jauh hari sebelum keluarnya sertifikat atas tanah itu, dirobohkan paksa.

Kehilangan papan tempat berteduh bukan hanya satu-satunya kerugian materi yang dialami warga RT 9 RW 1 Dusun Prajenan. Sebagian besar dari mereka pun kehilangan tempat mencari nafkah, bahkan kehilangan modal pokok memenuhi kebutuhan hidup meraka. Hal itu dipastikan terjadi mengingat sebagian besar warga menggantungkan hidup dengan berwiraswasta. Mereka berdagang dan menjual jasa di deretan depan pemukiman yang berupa serangkaian kios yang terletak di tepi jalan utama Magelang-Yogya dan beristirahat di bagian belakang pemukiman yang berupa hunian. Kedua bagian pemukiman itu berupa pemukiman permanen dan sejak keberadaannya, bagian depan telah mengalami empat kali perombakan karena proyek pelebaran jalan propinsi.

Yang membuat situasi ini menjadi lebih memprihatinkan adalah karena pemohon eksekusi adalah Pemerintah Desa Mertoyudan yang pada awalnya menjadi penggugat dalam kasus bernomor 27/Pdt.G/2005/PN.Kab Mgl. Mengenai kasus tersebut, putusan kasasi telah dikeluarkan dan diberitahukan kepada para pihak secara tertulis pada tanggal 03 Mei 2010. Namun alasan utama pelaksanaan kasasi bukanlah karena kasus telah inkracht karena kasus ini adalah kasus perdata melainkan karena diajukannya permohonan pelaksanaan eksekusi oleh pemenang perkara.

Berdasarkan alur jalannya perkara, permohonan eksekusi tersebut diperkirakan diajukan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan melalui pengacara M.Zazin, SH., MH. dkk antara 03 Mei 2010 hingga 06 Juni 2010, karena pada tanggal 07 Juni 2010 keluar relaas panggilan kepada para termohon eksekusi bernomor 09/Pdt.Eks/2010/PN. Mkd. Relaas tersebut memanggil termohon eksekusi guna menghadap Ketua PN Mungkid pada tanggal 10 Juni 2010.

Pada waktu menghadap Ketua PN Mungkid, Adi Hernomo, SH., MH. itu, para termohon kasasi (dan sebagian diantaranya diwakili kuasanya) tanpa kehadiran perwakilan dari penggugat, diberi penjelasan mengenai putusan kasasi. Namun penjelasan Ketua PN menimbulkan tanda tanya bagi hadirin karena ketua PN menyatakan akan ada ganti kerugian bagi para termohon kasasi, padahal dalam putusan tertulisnya, secara jelas dan tegas MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang memutus tidak ada dasar hukum bagi pemberian ganti kerugian.

Selanjutnya relas panggilan kedua tertanggal 14 Juni 2010 (relas ini juga bernomor sama, 09/Pdt.eks/2010/PN.Mkd) memanggil para termohon kasasi untuk menghadap ketua PN Mungkid pada tanggal 17 Juni 2010. Pada panggilan kedua inilah dilakukan erata atas keterangan ketua PN di pertemuan terdahulu. Pun pada pertemuan kali ini, turut hadir seorang pengacara, Ferry P. Kurniawan, SH., yang menyatakan diri sebagai perwakilan dari Pemerintah Desa Mertoyudan selaku Penggugat.

Adapun pada pertemuan kedua, selain erata pembacaan putusan kasasi dan penjelasan mengenai aturan main eksekusinya, juga tercetus pengumuman yang disampaikan oleh sdr Ferry P Kurniawan, SH. selaku kuasa penggugat yang sedikit menjadi pendingin suasana. Pemberitahuan itu berkaitan dengan telah disepakatinya keberadaan tali asih bagi para termohon eksekusi. Namun mengenai bentuk dan besarannya, kuasa penggugat pada waktu itu menyatakan belum ada kesepakatan internal dari unsur Pemerintah Desa Mertoyudan. Oleh karenanya, pada pertemuan tersebut Ketua PN Mungkid memerintahkan dengan tegas dan jelas kepada para termohon eksekusi untuk bersedia bersabar dan menuggu pemberitahuan lanjutan mengenai bentuk dan besaran tali asih dari Penggugat serta memerintahkan kepada kuasa dari penggugat untuk sesegera mungkin menyelesaikan rembug internal mengenai hal itu dan melaporkan hasilnya kepada beliau untuk ditindaklanjuti.

Dalam pertemuan kedua itu kembali diajukan pertanyaan mengenai nasib warga yang tinggal di tempat itu diluar para permohon eksekusi. Ditanyakan oleh wakil dari termohon eksekusi, bagaimana nasib mereka sebagai bagian dari warga desa, perlindungan hukum dan penghormatan atas hak hidup mereka. Mengenai hal inipun ketua PN memerintahkan kepada kuasa penggugat untuk melaporkan kepada Pemerintah Desa dan menyarankan untuk segera melakukan kajian internal mengenainya, mengingat selain menjadi penggugat, Pemerintah Desa Mertoyudan merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan yang memiliki kewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Namun apa yang terjadi? Hingga eksekusi dilaksanakan, tak satupun perintah Ketua PN Mungkid pada pertemuan kedua dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Mertoyudan. Baik itu mengenai penindaklanjutan wacana tali asih, atupun penanganan masalah warganya yang tak tegugat namun terkena imbas eksekusi. Pemerintah Desa Mertoyudan khususnya dan Pemerintah Kabupaten Magelang pada umumnya seakan tutup mata tutup telinga dan tutup hati atas keadaan ini. Itu pula yang terjadi ketika hal itu diberitahukan kepada pelaksana lapangan eksekusi, Ngadenan, SH. (yang pada waktu pelaksanaan eksekusi didampingi oleh beberapa pejabat terkait). Mereka bersikap tak peduli dan tak mau tahu atas nasib para warga negara yang tiba-tiba menjadi tunawisma ini.

Apakah memang pengelolaan konflik di negara kita sudah sedemikian terpuruk hingga karena adanya perkara perdata mengakibatkan pelanggaran amanat konstitusi khususnya pasal 28 oleh aparatur pemerintah secara berjamaah? Semoga saja tidak, dan tugas kitalah sebagai bagian dari warga negara untuk memastikan disharmoni seperti ini tak lagi terulang di belahan manapun di bumi pertiwi.

* Pada awalnya tulisan ini dibuat untuk diterbitkan di majalah PARADIGMA edisi 2010 dengan judul “Where Do We Go From Here...”

06 Desember 2009

Dari Pitutur...






Sugeng siang.... selamat bertemu lagi...

He..he.... dah lama ternyata Nik tidak menulis catatan...
Beratus langkah sudah terlewat. Sayang... namun memang tak terhindaarkan. Cie........

Oke...
Catatan hari ini tentang suatu ungkapan yang patut kiranya untuk kita renungkan kembali.

"MAMAYU HAYUNING BAWONO IKU DADI DARMANING SATRIYO"
"KANGGO NETEPI DARMA, SATRIYO KUDU BISO NYANDHET LAKU CANDHOLO KANG DITINDAKAKE ING SOPO WAE ORA MANDHANG MUNGSUH OPO KULOWARGO"
[Petuah Kresna kepada Harjuna sebelum terjadinya Perang Bharatayudha]

Bahasa Jawa? Yup.... Boso Jawi.
Okeeeeeeeee, ini arti bebasnya,
"Menjaga keberlangsungan kehidupan menjadi tanggungjawab ksatria"
"Untuk melaksanakan tanggungjawabnya, Ksatria harus mampu menghentikan tindak kejahatan yang dilakukan siapapun tanpa membedakan musuh atau keluarga"

Nik dengar kata-kata tersebut tadi malam, pada segmen Pitutur di Jogja TV. Thanks to JTV yang menyalakan lampu di kepala Nik malam tadi....

Omong-omong.... Nik memang suka dengan kesenian, nyaris dalam segala jenisnya... apalagi kesenian tradisional yang nananya WAYANG. Karena banyak keuntungan yang bisa kita dapat dari menyimak cerita dan keragaman yang ada didalamnya. Maklum.... manusia kan Homo Economicus....

Nah... untuk yang pitutur diatas, kayaknya pas gitu dengan kondisi manusia, ndak dulu.. ndak sekarang... kayaknya juga buat masa mendatang.
Kalau Nik transformasikan petuah itu dengan tuntunan Islam... jadi PAS! KLOP!!

Begini konklusi Nik....
Dalam Islam, tiap manusia itu adalah pemimpin, paling tidak bagi dirinya sendiri. Apa yang dipimpin? tak lain dan tak bukan adalah ego, atau yang lebih dikenal dengan nafsu. Nah... jika kita adalah pemimpin, maka dalam tataran kasta, kita termasuk ke ksatria. Betul?
Nah... kalo kita ini ksatria.... maka punya tugas dan tanggungjawab yang menanti selama hayat masih dikandung badan. Dan tugas serta tanggungjawab itu bukan hanya untuk dibanggakan, dipamerkan atau ditukar dengan hak-hak yang istimewa... melainkan juga untuk dilaksanakan.
Tugas dan tanggungjawab ksatria, sebagaimana oleh Kresna diringkas dan dipetuahkan kepada Arjuna sebelum Perang Bharatayudha berlangsung merupakan versi singkat tugas semua kita sebagai manusia.
Akankah kita bisa melaksanakannya?
Nik yakin bisa...
Bukankah pencipta kita, Allah, telah menjanjikan bahwa takkan ada hambanya yang terbebani lebih dari kesanggupannya? Dan Allah adalah Dzat yang selalu menepati janji...

So, pertanyaan sebenarnya adalah; MAUKAH KITA UNTUK SENANTIASA MELAKSANAKANNYA?

That's differrent matter, is'n it?

05 Juli 2009

Rantai Birokrasi





Selamat siang tetamu semua....

Lama sudah kita tak bersua di obrolan tentang kegiatan dan keadaan harian Nik..

Bukannya Nik tidak melakukan kegiatan apapun selama kita tak bersua...atau tidak ada keadaan spesial yang patut Nik bagi pada tetamu sekalian. Bukan....

Hanya saja... penyakit MALAS MENULIS Nik rupanya kambuh dengan skala akut.

Hua... akut..............
Yup, kata yang tepat untuk menyampaikan tingkat penyakit itu diwaktu lalu...

Yah...
Bagaimanapun... penyakit itu sekarang sudah lumayan teratasi. Semoga saja tidak mudah kambuh lagi. Semoga.

Oia, untuk kali ini, Nik akan bercerita tentang Rantai Borokrasi.
Why? Karena sebulan terakhir ini Nik berurusan dengan para birokrat melalui surat menyurat. Dan Nik merasa SANGAT LELAH karenanya.

Oho... jangan menyangka birokrat pusat yang maksud. Bukan juga seperti kasusnya mbak Prita, yang jadi boom karena surat elektroniknya yang secara salah diapresiasi oleh jaksa dengan mengaitkannya dengan UU ITE. Bukan.... yah... paling tidak, tidak seheboh itu.
Urusan Nik (yang sebenarnya lebih merupakan urusan bersama RT 9 tempat Nik tinggal) dengan birokrasi menyangkut BPN atau instansi pertanahan di kabupaten.


Ceritanya begini.....
Warga RT 9 menanyakan keberadaan pengukuran tanah yang dilakukan oleh aparat BPN dengan didampingi oleh aparat Desa dan BPD .
Wah!... Ini pasti pengukuran resmi, pikir kami waktu itu. Tapi dalam rangka apa, ya?

Mau tidak mau, kami menjadi agak paranoid,mengingat tanah tempat kami -warga RT 9- menetap, sedang berada dalam sengketa dengan pihak Pemerintah Desa setempat. Sengketa perdata yang hingga kini masih dalam tahap kasasi dan belum incracht. Hm....
Pada awalnya kami mendapat penjelasan dari salah seorang perwakilan BPD yang turut menyertai pengukuran itu, bahwa pengukuran yang dilakukan itu dalam kerangka perubahan keterangan tagihan pajak karena luas tanah berkurang setelah rencana pelebaran jalan propinsi mulai ditindaklanjuti oleh PU. Oke, sampai disitu kami berusaha memahami. TAPI.... mana surat tugasnya? ya dari BPN, ya dari Dinas Pajak...
Jawab beliau, "Ah, urusan kayak gini nggak perlu rewel, mbak... ndak usah pake birokrasi yang rumit... wis, percaya saja..."
Ho....ho...ho......
Langsung di kepala kami, berdering alarm tanda bahaya. Pengukuran tanah tanpa surat tugas? Apa-apaan ini....
Meskipun kami orang awam dalam bidang pertanahan, tidak berarti kami orang bodoh yang gampang dikibuli...
Selang beberapa hari...
Akhirnya setelah musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang, kami bersepakat mengirim surat resmi yang ditujukan pada BPD dengan tembusan kepada Pemerintah Desa, PN serta BPN Kabupaten mengenai pengukuran tanah tersebut. Keesokan hari, surat dikirim melalui pos tercatat.
Jeng...jeng.....
Seminggu.... sepuluh hari..... nyaris dua minggu kami menunggu...
Karena tak sabar, kami tulis surat kedua, yang tembusannya hingga ke BPN pusat, MA dan kepolisian. Masih menggunakan metode surat tercatat.
Whus....... selang dua hari, jawaban diantar langsung oleh kurir dari BPN Kabupaten.

Jam 5 sore!!!!!!!!! Rajin, ya... Unbelievable.... sehebat itukah pengaruh tembusan sampai pucuk pimpinan menghasilkan respon? He...he....
Jawaban surat itu mencengangkan...
ternyata, pengukuran yang dilakukan itu BUKAN permintaan dari dinas pajak, tapi permohonan dari Pemerintah Desa -yang notabene adalah penggugat dalam kasus perdata pertanahan yang belum inkracht- dalam rangka splitsing sertifikat. Disertakan pula surat permohonan splitsing dari Pemerintah Desa. WHAT A HELL.....
Dalam surat itu pula BPN mengajukan saran agar apabila memang tanah SEDANG BERADA dalam sengketa, kami selaku yang berkepentingan mengajukan permohonan blokir atas sertifikat tersebut sehingga tidak dapat dilakukan perbuatan hukum terhadap sertifikat tersebut selama perkara masih belum inkracht.
Hu....hu.... nyaris kecolongan dah... NYARISSSSSSSSSS
Akhirnya kami tindaklanjuti lagi dengan surat yang memuat lampiran pengantar kasasi, dan surat gugatan awal disertai permohonan blokir. All in one letter.
Dan belajar dari respon secepat kilat karena tembusan ke instansi tertinggi, kali ini kami pun kirim dengan tembusan yang komplit...plit...plit....

Bedanya, kali ini yang dikirim per pos tercatat hanya yang berada di luar jangkauan pengantaran sehari. Untuk sialamat dalam kota, Nik antar sendiri, dengan dilampiri tanda terima kiriman, tentu...........
Ciattttttttt.... ngeng...ngeng... dari jam delapan pagi, Nik dah rapi jali siap muter kota nganter surat...
Ternyata, jam sembilan dah kelarrrrrrrrrr, cepet juga.....
Oops..... setelah beberes file yang diperlukan, tinggal nunggu jawaban lagi, deh...
Tang...ting...tung.... menunggu memang menjemukan... tapi karena harus dijalani, yah, waktu tunggunya dipake untuk konsultasi ke PKBH, yang merupakan penasehat hukum kami selama berperkara.
AKHIRNYA...
Surat jawaban datang juga....
eng....ing...eng... inti dari jawaban itu sungguh menbuat kami terheran-heran...

MEREKA MENYATAKAN TIDAK TAU BAHWA TANAH DALAM SENGKETA, dan MEMINTA PERWAKILAN RT UNTUK DATANG KE BPN DAN MENDAPAT PENJELASAN TENTANGNYA.
He????
Lha pejabat BPN yang jadi saksi di sidang perkara di PN dulu itu apa juga ndak mengantongi surat tugas, ya? sehingga ndak kearsip?
Cape deh.....

whatever...
Akhirnya beberapa orang perwakilan RT, yaitu Pak RT, Mr.R dan Nik ke BPN. Bermotor ria...
Sampai disana, kami dihibur dengan keramahan dan kata manis.... Pulang kami..

Besoknya, Pak RT kembali ke BPN dan meminta BLOKIR. Kayaknya bikin pegawai BPN yang menghibur kami kemarin salah tingkah, deh.... karena awalnya mereka bilang, kalo sebenarnya begitu mereka tahu ada sengketa, mereka punya kebijakan ndak ngutik-utik sertifikat yang bersangkutan... dan blokir hanya berlaku untuk 30 hari dan ndak bisa diperpanjang.
Ho...ho... kami memilih tidak mengambil risiko sebanyak itu mengingat model arsip birokrasi pemerintahan belum bisa kami percaya efektif dan efisiennya.... soriiiiii.....wkwkwkwk....

Hari itu juga blokir dilakukan pad sertifikat tanah sengketa. YUP!! hitam diatas putih...
Yah... memang ada perlawanan dari pemerintah desa melalui pengacara mereka, sih... tapi kami bisa membuktikan kalo itu perkara masih belum inkracht.... then, mereka g bisa berkutik....
So, inti dari cerita Nik itu adalah...
Kalau u berurusan dengan birokrasi di Indonesia, [entah di negara lain, Nik belum pernah kesana].... ingat-ingat selalu untuk:
1. Bawa kuitansi, biar g kena pungutan liar;
2. Selalu minta tanda bukti;
3. Usahakan ada hitam diatas putih yang legal;
4. Pelajari cara komplain kepada atasan birokrat tersebut atau jalur publikasi keberatan kita atas pelayanan mereka, karena ndak semua jalur terbuka luas bagi kita....ingat, mbak Prita sudah dimejahijaukan, padahal bukan dengan pemerintah lho... urusannya....
5. Grow up! Ndak usah jadi penjilat lah.....